(Oleh : Dr. Ibrahim Ruhaily dalam Mauqif Ahlus Sunnah)
Para
ulama telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini
walaupun lafadl-lafadlnya berbeda-beda, menambah kesempurnaannya
disamping memiliki kandungan makna yang sama. Termasuk definisi yang
terpenting adalah
1. DEFINISI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah berkata,”Bidah dalam agama adalah perkara wajib
maupun sunnah yang tidak Allah dan rasu-Nya syariatkan. Adapun apa-apa
yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka diketahui
dengan dalil-dalil syriat, dan ia termasuk perkara agama yang Allah
syariatkan meskipun masih diperslisihkan oleh para ulama. Apakah sudah
dikierjakan pada jaman nabi ataupun belum dikerjakan.
2. DEFINISI IMAM SYATIBI
Beliau
berkata,”Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang
diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada
Allah”.
3. DEFINISI IBNU RAJAB
Ibnu
Rajab berkata,”Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada
asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka
bukan bidahwalaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa”
4. DEFINISI SUYUTHI
Beliau
berkata,”Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang
syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan
menambah dan mengurangi ajaran syariat”.
Dengan
memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang
mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke
dalam beberapa point di bawah ini :
1.
Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama.
Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi
semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti
mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan
kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
2.
Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa
yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun
tidak ditentukan oleh nash secara husus. Misalnya adalah apa yang bisa
kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-lat perang seperti kapal
terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern
yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan
membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan
itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak
mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir.
Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman
firman Allah taala,”Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka
(musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi”.Demikian pula
perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal
dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
3. Bahwa bidah semuanya tercela.
4.
Bahwa bidah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi
syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan
pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun
bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya
meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah
tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan
sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan
beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.
Inilah
definisi-definisi terpenting tentang bidah yang mencakup
hukum-hukumnya. Telah nampak dari sisi-sisinya batasan bidah dan jelas
pula kaidah-kaidahnya yang benar untuk mendefinisikannya. Adapun cakupan
setiap definisi itu bagi hukum-hukum bidah maka berbeda-beda.
Menurut
anggapanku definisi bidah yang paling menyeluruh dengan hukum-hukumnya
yang membatasi pengertian bidah secara syari dengan batasan yang rinci
adalah definisi Imam Syathibi.
Dengan
demikian definisi Imam Syathibilah yang terpilih dari definisi-definisi
tersebut di atas karena mencakup batasan-batasan yang menyeluruh yang
mengeluarkan apa-apa yang tidak termasuk perkara bidah.
Taken From: www.perpustakaan-Islam.com